Hidup, Mati, dan Di Antaranya
Runtutan kepergian orang-orang terdekat akhir-akhir ini membuatku sadar bahwa satu-satunya kepastian di dunia ini adalah kita semua akan mati. Kita akan terurai, lalu perlahan dilupakan.
—sebuah renungan sunyi, bukan doktrin keagamaan.
Di dunia ini tidak ada salahnya mengejar apa yang kita mau. Karier, kekayaan, pencapaian, bahkan orang-orang yang kita kasihi.
Semua itu memang untuk diraih, dimiliki, dipamerkan, dibanggakan.
Namun, ada hari-hari aku bahagia. Ada hari aku optimis. Ada pula hari aku bingung dengan arah hidup. Namun setelah semua itu, aku sadar: hampir tidak pernah ada hari di mana aku benar-benar takut akan mati.
Padahal sesekali, rasa takut itu muncul. Tentang apa yang terjadi setelahnya.
Tentang tanah, langit, ruang yang tak terlihat.
Tentang hidup setelah mati yang dulu sering diceritakan waktu kecil, ketika berangkat TPQ setiap sore.
Tentang takdir yang tidak bisa kulawan—dan bagaimana melawannya pun aku tak punya gambaran.
Mungkinkah aku suatu hari berkata, "Tuhan, tolong… jangan hari ini?”
Kadang di malam yang hening, aku merenungi diriku sendiri.
"Apa yang sudah kulakukan sejauh ini?"
"Dengan siapa nanti aku akan hidup?"
"Aku ini sosok seperti apa di mata orang-orang terdekatku?"
"Apakah aku pernah jahat? Pernah licik?"
"Apakah orang-orang benar-benar mengasihiku?"
"Apakah kehadiranku memberikan keindahan atau sebaliknya?"
"Apakah satu hari nanti, ketika waktuku habis, aku akan pergi dalam keadaan dicintai dan dikelilingi orang-orang yang aku sayangi?"
Tentunya, aku tidak tahu.
Mungkin tidak ada manusia yang benar-benar tahu.
Tapi dalam filsafat, ada satu konsep yang pelan-pelan mengajarkanku sesuatu: memento mori. Bukan agar kita tenggelam dalam ngeri, tapi agar kita ingat untuk hidup. Justru karena hidup singkat, apa yang kita rasakan, bahagia, optimis, bingung, tersesat, menjadi berarti.
Karena setiap emosi adalah bukti bahwa kita masih hidup.
Dan dari semua ketakutan itu, perlahan aku menemukan sebuah keinginan yang jujur:
Aku ingin hidup penuh sebelum mati.
Aku ingin mengasihi lebih banyak.
Ingin menyebarkan sayang dan cinta sebanyak yang bisa kuberikan—seperti yang selama ini diajarkan kepadaku. Kalau nantinya aku harus pergi, biarlah aku pergi sebagai seseorang yang pernah mencintai dengan sungguh-sungguh.
Itu saja sudah cukup.
- catatan kematian.
tanpa disadari km tlah menjadi cahaya di kehidupan ini terimakasih telah menjadi cerah itu ♡
ReplyDeletelet’s validate that feeling and move on to living a meaningful life in the present, may those good deeds in the meaningful life be enough for us to bring to death:)
ReplyDelete