Tentang Buku "Entrok" dan Marni: Perempuan, Mimpi Kecil, dan Luka Besar
Entrok, entrok, dan entrok. Kalau ada orang yang bertanya kepadaku, novel Indonesia dengan latar tahun 60-an terbaik versiku, akan aku jawab "Entrok-nya Mba Okky". Sebuah kisah yang mengguncang, menghantam kesadaran, dan meninggalkan luka yang tidak segera sembuh.
Novel Entrok (2010) adalah debut dari Okky Madasari, yang kemudian dikenal sebagai penulis sastra sosial-politik. Buku ini membuka jalan bagi tema-tema besar seperti kebebasan, kekuasaan, dan identitas dalam karya-karya selanjutnya.
Salah satu kutipan favoritku di buku ini:
Kutipan ini muncul di awal novel, dan awalnya kukira ini adalah kalimat romantis antara pria dan wanita. Ternyata aku salah besar — dan aku baru menyadarinya setelah menyelesaikan cerita.
Okky Madasari sangat lihai dalam meletakkan latar waktu di novelnya. Kutipan di atas adalah di "masa sekarang" dan cerita di lanjut dengan sudut pandang Marni di masa lalu. Seorang wanita Jawa miskin dan buta huruf yang hanya tinggal dengan ibunya seorang pengupas singkong di pasar. Ibunya tidak pernah digaji dengan uang melainkan beberapa batang singkong untuk dimakan.
Marni dan Entrok: Perempuan Kecil dan Mimpi Kecilnya
⚠️ Spoiler alert: Bagian berikut mengandung detail penting dari cerita.
Marni kecil yang sering bermain dengan sepupunya merasa sangat ingin untuk memiliki entrok seperti yang dipakai oleh sepupunya. Entrok adalah beha (bra) untuk menopang "susune sing wis mringkili". Jangankan entrok, duitpun tak dipunya, makan apa adanya, yang penting bisa makan.
Begitulah sekelumit keluh Marni yang menjadi awal semangatnya dalam memutuskan hidupnya sendiri. Dia buta huruf, namun semangatnya sangat besar. Ia melakukan pekerjaan apapun, mulai dari kuli angkut sayur hingga jadi bisa "kulak" sayur dan dijual-jual ke rumah warga. Disitulah ia mendapatkan upah agar bisa membeli entrok impiannya.
Marni bertemu Teja yang menikahinya dan bersama dia memiliki seorang anak, Rahayu, yang disayang dan "diramut".
Yang menjadikan sosok Marni unik adalah kebiasaanya liwetan dan panggangan untuk syukuran. Ia lantas akan berdoa ke leluhurnya dengan mempersembahkan liwetan itu kepada "mbah ibu bumi" di depan pohon. Ia akan mengajak Rahayu kecil untuk melakukan hal-hal yang ia sukai itu.
Kehidupan Marni semakin sukses, tidak lagi menjual sayur, melainkan perabotan dan meminjamkan uang kepada warga desa dengan cicilan dan bunga. Meskipun ia membantu orang yang kesulitan, niat baiknya tak selalu diterima dengan baik. Bagai memberi air di daun keladi, Marni dicap riba, dosa, dan dimusuhi karena dianggap lintah darat, padahal ia hanya membantu mereka yang membutuhkan tanpa memaksa.
Perjuangan Perempuan yang Tak Kenal Lelah
Latar waktu di tahun 60-an jelas lekat dengan era-era militerisme ala orde baru. Buku ini sangat jelas menguras emosi saya dengan 2 hal; warga desa dan militer yang semena-mena.
Dipalak, dijarah hartanya, diancam, dicap PKI, dimusuhi anaknya, suaminya selingkuh, anaknya kawin dengan suami orang.
Ah, Marni-Marni, malangnya dirimu. Kerja memeras keringat, apa yang kehidupan berikan untukmu? Tapi bukan Marni bila dia menyerah.
Buku ini, selain menceritakan sebuah perjuangan kecil sosok perempuan, juga menunjukkan betapa kejamnya dan semena-menanya pemerintahan di masa itu bagi warga seperti Marni. Betapa semua kekayaan yang ia dapatkan, digunakan dengan seenaknya sendiri oleh para oknum tentara yang korup dan kurang ajar.
Sebagai pembaca, aku sangat merasa tidak adil dengan apa yang didapatkan marni hingga akhir cerita ini. Tapi, begitulah hidup, harus diperjuangkan. Bagi Marni, orang yang dia sayang, jelas tidak ada harganya, bahkan seluruh hartanya mampu ia berikan.
Secara emosional, aku sangat senang bagaimana Mbak Okky menciptakan tokoh laki-laki yang "tidak berguna" dalam cerita, sehingga menyorot dengan lantang perjuangan perempuan-perempuan tokoh utama di novel ini.
Hidup memang berat, dan tak selalu adil. Tapi seperti Marni, kita hanya bisa terus berjalan, dengan kepala tegak.
Terima kasih, Mbak Okky, untuk Entrok — dan untuk Marni.
nicee gonna read it soon...
ReplyDelete