Belajar cukup, belajar bahagia
Dulu, aku sering merasa minder. Melihat orang-orang punya gawai terbaru, baju, sepatu, dan tas bermerek, ikut tren tanpa ragu. Sementara aku hanya punya satu tas, satu sepatu, satu gaya yang itu-itu saja. Rasanya seperti ketinggalan, seperti tidak cukup keren untuk dianggap.
Tapi seiring waktu, aku belajar. Mencari uang sendiri sejak SMK membuatku sadar: uang itu tidak datang dengan mudah.
Setiap lembar yang aku hasilkan punya cerita, punya lelah, dan karena itu aku tidak bisa membelanjakannya sembarangan—aku tidak ingin kalap hanya karena merasa harus terlihat seperti orang lain.
Kini, aku hidup dengan prinsip sederhana: “You only need one.” Satu sepatu yang nyaman, satu tas yang awet, satu gaya yang benar-benar aku suka. Aku tidak lagi takut ketinggalan tren.
Justru aku bahagia—karena barang-barangku aku sayangi, aku rawat, dan aku hargai.
Uangku sekarang tidak habis untuk membeli hal-hal yang cepat bosan. Aku menggunakannya untuk membeli buku fiksi non fiksi yang aku suka, ikut kursus yang membuka peluang baru, atau sekadar menikmati eskrim sambil membaca tulisan-tulisan favoritku. Rasanya lebih utuh. Lebih aku.
Aku tahu, tidak semua orang harus seperti aku. Tapi aku percaya, menjadi cukup itu membebaskan. Dan dalam hidup yang penuh dorongan untuk terus membeli, memilih untuk tidak ikut arus adalah bentuk keberanian.
---
Ditulis sepanjang malam, diselesaikan di atas bis menuju Madiun.
Comments
Post a Comment